1 Januari 2000, pukul 5.00 WIB. Saya  terbangun dan terkejut. Sekeliling saya gelap dan saya tidak dapat  melihat apapun. Saya tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan di tempat itu, kecuali suara-suara teriakan kesakitan yang lamat-lamat terdengar dari kejauhan.  
“Bangun! Aku ingin menunjukkan sesuatu yang sangat penting kepadamu.” Saya tahu  bahwa itu suara Tuhan Yesus. Saya bangun dan mengikuti-Nya. Ia membawa  saya ke padang gurun. Sebuah perjalanan yang panjang dengan suasana  mencekam. Saya tidak merasakan adanya tanda-tanda kehidupan di sana,  kecuali kesunyian yang bercampur kengerian yang tak terkatakan. Sunyi,  sangat tandus dan tak ada angin yang berhembus. Tenggorokan saya terasa  kering karena panasnya melebihi batas normal. Di sepanjang jalan saya  melihat banyak makhluk-makhluk aneh yang tak pernah saya lihat atau  jumpai di bumi.  
Saya tidak bisa berjalan cepat,  tetapi berjalan setapak demi setapak untuk bisa sampai ke sebuah gerbang  yang besar sekali sehingga ujungnya tak tampak. Saya tidak tahu pintu  itu terbuat dari apa. Pintu gerbang itu tinggi sekali dan menyeramkan.  Saya mendongakkan kepala untuk membaca sebuah papan nama. Kalau Tuhan  tidak membantu saya, mungkin saya tidak akan pernah bisa membacanya.  Tulisan itu tidak menyerupai tulisan dalam bahasa apapun di bumi, bunyinya : Valley of Torture, Lembah Penyiksaan. Saya baru  menyadari dimana saya berada saat itu. Ternyata saya berada di neraka!  Masih dalam keadaan shock, saya mendengar suara Tuhan di sebelah saya  berkata, “Buka pintu itu!”  
Saya menghela nafas panjang.  Bagaimana mungkin? Akhirnya saya menaati perintah-Nya dan dengan urapan  kuasa Tuhan saya menyorongkan tangan saya ke pintu gerbang itu. Cuma  dengan menyentuhnya pintu gerbang besar itu terbuka dan berbunyi  kkkkkkrriiiieeekkkkkkkkk. Deritnya memekakkan telinga.
 
Masuk  ke dalam kegelapan di balik pintu gerbang besar itu, saya mencium bau  busuk yang menyengat hidung. Hawa panas menyerbu saya, disusul bau  daging terbakar yang membuat saya mual dan ingin muntah. Mendadak kepala  saya pusing karena mengetahui bau daging apa yang sedang terbakar  disana, bau daging manusia terpanggang. 
Apa yang saya lihat di balik pintu  itu sulit sekali saya lupakan. Bahkan setelah semuanya kembali berjalan  seperti biasa, ingatan akan tempat terkutuk itu sulit dihapus dari benak  saya. Di Lembah Penyiksaan itu saya melihat banyak orang-orang yang  mati di luar Tuhan Yesus ditempatkan. Sayangnya saya hanya mampu menceritakan sebagian kecil dari semua yang saya lihat di sana.  
Saya tahu ada banyak sekali manusia  yang tak terhitung jumlahnya di sana. Karena saya mendengar suara  jeritan mereka memenuhi udara, berbarengan dengan kertakan gigi. Jeritan  mereka itu memekakkan telinga, sehingga rasa ngeri membungkus sekujur  tubuh saya. Teriakan kesakitan mereka itu seolah-olah menghilangkan  kekuatan saya untuk tetap melihat semuanya sampai selesai.
 
Jika urapan-Nya tidak melindungi  saya, saya takkan bisa bertahan di sana. “Lord, get me out of here,  please. . .” pinta saya kepada Tuhan. Namun Tuhan tidak menanggapi saya.
 
Belum habis rasa panik saya,  tiba-tiba saya melihat kengerian yang lain. Tak jauh dari tempat saya  berdiri, saya melihat seorang wanita yang dikerumuni roh-roh jahat.  Mereka berbentuk aneh. Roh-roh jahat itu berjalan-jalan mengelilingi  wanita itu, sambil memegang senjata tajam yang tak pernah saya lihat di  bumi.
 
Saya melihat wajah wanita itu  diliputi ketakutan yang sangat. Saya tahu bahwa ia belum lama mati  karena posisinya saat itu sangat dekat dengan gerbang maut  di mana saya berada. Saya tidak tahu apa yang membuat ia mati. Yang  saya tahu, ia masih muda dan wajahnya cantik. Ketakutan di wajahnya  sangat jelas ketika ia memohon belas kasihan mereka. Sayangnya, roh-roh  jahat di sekelilingnya tidak menggubris permintaannya. Malahan mereka  tertawa-tawa senang melihat ketakutan wanita itu. Mereka mengikat kedua  tangan wanita itu ke sebuah balok kayu dan terus mengancam dan  mengintimidasinya.  
“Ayo, berdusta! Ayo, berdusta!”  Semakin ia berteriak ketakutan, semakin keras iblis-iblis itu  menyuruhnya berdusta. Ternyata selama hidup  di bumi wanita itu sering mendustai suaminya. Ia tidak setia kepada  janji dan ikatan pernikahannya. Wanita itu berselingkuh dengan pria  lain. Wanita itu tampak pasrah terhadap perintah mereka. “Ya, ya, aku akan berdusta! Aku akan berdusta!”
 
Saya kira wanita itu akan dibebaskan  karena telah memenuhi permintaan mereka. Ternyata dugaan saya keliru.  Salah satu roh jahat itu menyodok wajah perempuan itu dengan senjata  yang bentuknya aneh, kemudian menggaruk wajahnya dengan senjata yang  sama dengan kasar dan cepat. Kulit wajah wanita itu terkelupas bersamaan  dengan teriakan dan jeritan kesakitan wanita malang itu. Darah segar  menyembur dari luka di wajahnya, dari luka yang menganga. Teriakan  kesakitan terdengar sangat menyayat hati.  Wajahnya tampak mengerikan akibat tindakan brutal dari iblis ini. Di  saat yang bersamaan saya melihat roh jahat yang lain muncul dari balik  kerumunan, menarik lidah wanita ini hingga putus. Jeritan kesakitan  melolong-lolong keluar dari mulut tanpa lidah ini.  
Saya terpana. Saya kehabisan  kata-kata. Jantung saya seperti berhenti sepersekian detik karena sangat  kaget. Saya tak menduga sama sekali bahwa wanita tersebut akan  diperlakukan sesadistis itu. Saya tidak tahan lagi! Saya berteriak  dengan marah. Saya bermaksud ingin menolongnya. Tetapi teriakan saya  tenggelam dalam kegelapan dan kengerian. Karena dikuasai rasa takut,  suara saya terdengar bagai rintihan. Tetapi mereka tidak dapat mendengar  saya.
 
Belum pulih dari shock saya,  tiba-tiba saya melihat lidahnya kembali ada. Seolah-olah tidak terjadi  apapun. Cuma darah yang tersisa di wajahnya menandakan adanya perlakuan  sadistis atas wanita itu. Iblis yang sama kembali mengulangi kejadian  tadi dengan senjatanya. Kembali wanita itu menjerit-jerit kesakitan.  Begitu terus berulang-ulang sehingga kengerian menguasai saya  sepenuhnya. Pada akhirnya saya tahu bahwa kekekalan di sana berlaku atas  tubuh, perasaan dan pikiran manusia. Sekalipun semuanya terjadi di alam  supranatural, tetapi jeritan, ekspresi ketakutan, bentuk penyiksaan,  kertakan gigi, suara tawa iblis di neraka begitu nyata. Neraka itu lebih  nyata dan lebih kekal daripada apa yang ada di bumi ini.
 
“Ayo, kita bawa wanita ini ke depan,  ke lautan api itu!” Seketika itu juga saya diberi hikmat Tuhan tentang  perbedaan antara maut, kerajaan maut, dan lautan api. Orang yang mati  dalam dosanya akan mengalami maut, karena upah dosa  ialah maut. Mereka terpisah selama-lamanya dari hadirat Allah. Di  sanalah setan-setan mendirikan kerajaan maut. Mereka menyiksa  manusia-manusia yang berada di kerajaan maut. Lautan api adalah hukuman terakhir bagi iblis dan para pengikutnya.  
“Tiiiddddaaaakkkkkkkk! Aku tak mau  ke sana. Tidak mauuuuu!” Wanita tersebut memohon belas kasihan  iblis-iblis itu. Dengan tangan terikat ke belakang, wajah yang hancur  dan bersimbah darah, lidah yang putus, ia berlutut menangis memohon  belas kasihan para penyiksanya. Sungguh, itu merupakan pemandangan yang  sangat sangat sangat menyedihkan, membuat iba, dan sekaligus mengerikan.  Bukan iba, bukan belas kasihan, para roh jahat itu malahan  bersorak-sorak kegirangan melihat korban di depannya tak berdaya, penuh  kemalangan.
 
“Aku tidak mau ke sana. Tidak mau.  Siksa aku saja di sini. Siksa aku saja semau kalian, jangan bawa aku ke  sana!” Wanita itu sudah demikian tersiksa, sedemikian menderita,  sedemikian kesakitan, masih memilih disiksa di situ saja, dibandingkan  dibawa ke lautan api. Saya bisa memahami ketakutannya. Lautan api itu  bukan dongeng. Tempat itu nyata. Tempat itu ada di depan matanya. Benar  kata Alkitab, “Ngeri benar, kalau jatuh ke dalam penghukuman Allah yang hidup!”  
Tak jauh dari tempat wanita itu  disiksa, saya melihat seorang pria yang tinggal kerangka, karena  dagingnya telah meleleh, digotong kembali ke dekat pintu gerbang.  Sebelumnya ia ditempatkan di dekat lautan api. Saya yakin ia telah lama  mati. Ia dibawa ke dekat pintu gerbang itu entah untuk ke berapa  kalinya, hanya untuk mempermainkan perasaannya. Sementara itu roh-roh  jahat yang mengerumuninya berteriak-teriak memberi semangat, “Ayo,  onani! Ayo, masturbasi!”
 
Rupanya, semasa ia hidup ia sering  melakukan masturbasi. Ketika saya mendengar roh-roh jahat itu  berteriak-teriak, saya dikagetkan dengan munculnya ribuan ulat yang  menjalar keluar dari lubang kemaluannya yang sebenarnya tinggal daging  meleleh. Ulat-ulat itu keluar juga dari lubang mata, hidung, dan  telinganya. Ulat-ulat itu menjilati dagingnya yang meleleh. Saya tidak  pernah menjumpai ulat-ulat seperti itu di bumi. Pria itu sangat  kesakitan digerogoti dagingnya oleh ulat-ulat ganas itu.
 
Tak jauh dari tempat saya berdiri,  saya melihat seorang pria muda yang sepertinya baru meninggal. Saya tahu  kalau ia belum lama meninggal, karena orang-orang yang sudah lama  meninggal akan berada di tempat yang sangat jauh dari tempat saya  berdiri di dekat gerbang maut itu. Tak berapa lama kemudian beberapa roh  jahat datang membawa seorang pria yang lebih tua usianya. Dugaan saya,  semasa mereka hidup, mereka adalah ayah dan anak. Roh-roh jahat itu  memaksa kedua orang itu ke tengah lingkaran. Mereka memaksa pria yang  lebih muda untuk makan bagian belaksan dari kepala pria yang lebih tua.  Memakan otak! Mengerikan sekali. Sebelumnya para iblis itu merobek  belakang tempurung kepala pria yang lebih tua dengan tangan mereka.  Terdengar jerit kesakitan dari pria tua itu. Dan anak muda itu tak punya  pilihan lain selain memakan otak dan bagian belakang pria yang adalah ayahnya.  
Melihat kejadian yang menjijikkan  dan gila itu saya berteriak histeris. Saya marah sekali melihat kejadian  itu. Seumur hidup saya tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri  perbuatan kanibalisme seperti itu. Sontak saya menjadi pusing dan tubuh  saya gemetar. Sekujur tubuh saya jadi lemas karena ngeri. Kalau bukan  karena tangan-Nya yang memberi kekuatan, saya tidak akan kuat berdiri.
 
“Tuhhhaaaaaannnnn! Jangan diam saja!  Lakukan sesuatu!” kata saya iba. Tuhan tidak menjawab. Saya merasa  putus asa karena saya tak dapat menghalangi perbuatan iblis-iblis itu.  “Lord, do something, please. Tuhan, Engkau ‘kan penuh kuasa. Lakukan  sesuatu.” Tuhan tetap diam. Saya tidak dapat berbuat apa-apa lagi,  selain menaati-Nya. Saya memaksakan diri untuk melihat kembali potongan  adegan yang sangat sangat mengerikan itu. Anak muda itu masih sedang  memakan bagian belakang tempurung kepala ayahnya yang sangat-sangat  kesakitan.
 
“Cukup, Tuhan! Hentikan! Saya tidak tahan!”
 
“Tidak! Engkau harus tetap di sini!  Tetaplah di dekat-Ku dan jangan bergerak,” kata-Nya dengan lembut.  “Jangan membenci,” sambung-Nya. Seketika itu juga saya mengerti bahwa  mereka berdua, ayah dan anak itu, saling membenci ketika mereka masih  ada di dunia. Mereka tidak mau saling memaafkan sampai kematian  menjemput mereka.
 
Ketika saya menoleh kembali ke arah  ayah dan anak itu, terdengar suara satu roh jahat, “Sekarang tiba  giliranmu!” Pria yang lebih tua dengan kesakitan yang sangat karena  bagian kepalanya tinggal seperempat, menuruti kata-kata iblis itu. Ia  sekarang berbalik memakan kepala anaknya sendiri. Wajah anak muda itu  tampak tegang menanti giliran disiksa. Ia berdiri mematung dengan  ekspresi wajah yang penuh kengerian. Ia menjerit-jerit kesakitan ketika  ayahnya sendiri memakan bagian belakang kepalanya. Ya, Tuhan!
 
“Tuhan, cukup!” Saya tidak tahan  lagi melihat semua kengerian itu. Saya menutup mata, tapi pemandangan  itu tak dapat pergi. Seketika itu juga saya merasakan Tuhan menarik roh  saya, sehingga bisa kembali ke tubuh saya. Saya terbangun dengan nafas  terengah-engah. “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil!” seru  saya setelah pengalaman dibawa Tuhan ke neraka yang sangat sangat sangat  mengerikan itu.
 
Berbulan-bulan setelah itu, trauma  saya melihat neraka tidak segera pulih. Ingatan tentang neraka itu tidak  dapat saya lupakan sama sekali. Ditambah lagi, sekujur tubuh saya pada  sakit. Tulang-tulang saya terasa nyeri, sehingga untuk menggerakkan  badan saja terasa sulit. Sekalipun berusaha melupakan perjalanan ke  lembah penyiksaan itu, namun saya tak dapat tidur tanpa memikirkannya.
 
Saya tahu, Tuhan membawa saya ke sana untuk membongkar rahasia  pekerjaan iblis yang tak disadari banyak orang. Saya yakin “emergency  call” ini datangnya dari Allah, bukan peringatan dari manusia. Tuhan  mengembalikan roh saya ke tubuh saya dalam keadaan hidup, karena hanya  orang hidup yang dapat berbicara kepada manusia yang hidup. Orang mati,  sekalipun telah melihat dan mengalami neraka, tidak dapat berbicara  kepada orang hidup.  
Keseluruhan pesan ini bukan terletak  dan berfokus pada nerakanya. Yang jauh lebih penting, pesan ini  mengenai Tuhan Yesus, mengenai keselamatan di dalam Tuhan Yesus. Karena  hanya Tuhan Yesus saja yang sanggup menyelamatkan manusia dari  penghukuman kekal di neraka. Kisah  Para Rasul 4:12 mengatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa  pun juga selain di dalam Yesus Kristus, sebab di bawah kolong langit ini  tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita  dapat diselamatkan.” Kisah kesaksian Philip Mantofa ini diambil dari buku “A Trip To Hell” ditulis oleh Philip Mantofa bersama Sianne Ribkah.